Selasa, 14 Februari 2012

SEJARAH SOSIAL


GERAKAN PETANI CIOMAS (1886)

Gerakan anti pemerasan atau penghisapan merupakan gerakan yang terjadi di tanah partikulir, yaitu wilayah yang dibeli oleh swasta dari Belanda. Timbulnya tanah partikulir adalah akibat penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda sejak zaman VOC, dan terus berjalan sampai pada abad 19. Semua tanah partikulir tersebut merupakan pemberian VOC kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa dalam menjaga ketentraman suatu wilayah. Tanah-tanah tersebut berada di daerah di sekitar Bogor. Hal ini menimbulkan agitasi kaum petani di wilayah tanah partikelir sepanjang abad XIX dan awal abad XX. pada umumnya adanya gerakan-gerakan yang terjadi di tanah partikelir adalah disebabkan oleh adanya pungutan pajak yang tinggi serta tuntutan pelayanan kerja yang memberatkan kaum petani di daerah tersebut.
Para tuan tanah yang menguasai tanah partikelir senantiasa melakukan eksploitasi dengan cara menarik hasil secara langsung, mengumpulkan uang sewa,dan bagian panen, bahkan ada pula yang tidak hanya memungut pajak namun juga beserta tenaga kerja dari petani-petani yang menanami tanah tersebut. Para tuan tanah selalu bertindak sewenang-wenang terhadap petani, seperti memaksakan melakukan segala macam kehendaknya, menuntut penyerahan tenaga kerja, serta mengusir para petani apabila mereka tidak dapat membayar hutang atau memenuhi pekerjaan yang diminta, serta membayar pajak sebagaimana mestinya.
Gerakan petani dalam melawan tuan tanah adalah gerakan disebut gerakan petani Ciomas pada tahun 1886. Peristiwa ini merupakan suatu pertentangan antara para petani dengan tuan tanah dan pemerintah. Yang dilatarbelakangi oleh adanya pungutan cukai, adanya suatu ketidakadilan dengan salah satu praktek perbudakan ( kerja paksa ), pajak yang tinggi, dan lain sebagainya. Salah satu pemimpin pemberontakan adalah Apan, yang berperan sebagai imam mahdi dan menyerukan perang suci. Pimpinan pemberontak yang lainnya adalah Mohamad Idris, yang memakai gelar Panembahan.
Sebelum memuncaknya perlawanan di daerah Ciomas terjadi eksploitasi yang sangat meningkat setelah para tuan tanah berusaha mengintensifkan produksiyna untuk kepentingan pasaran di luar desa. Situasi tersebut akhirnya memunculkan suatu situasi yang buruk serta konflik yang tajam. Hal tersebut menyebabkan terjadi migrasi ke luar wilayah tempat tinggal para petani untuk menghindari pajak serta penolakan terhadap kerja paksa terutama di perkebunan-perkebunan kopi. Ketidakpuasan itu kemudian memicu perlawanan yang terbuka dan penuh dengan kekerasan. Dengan mengambil bentuk pemberontakan secara langsung pada bulan Februari 1886, yaitu ketika Camat Ciomas Haji Abdurrakhim di bunuh. Kemudian pada 19 Mei 1886 Idris beserta pengikutnya menduduki Ciomas sealatan. Pada saat itu terjadi pembunuhan terhadap kalangan tuan tanah.
Umumnya gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia merupakan suatu ketidakpuasan terhadap pemerintah terutama pemerintah kolonial, yang sebagian besar mereka bertindak sewenang-wenang terhadap kaum marginal atau petani yang ada di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Umumnya para petani yang melakukan gerakan ini mengungkapakan suatu bentuk protes yang mendasar terhadap keadaan hidup yang terjadi di pedesaan. Hampir dari semua gerakan yang telah terjadi, menunjukkan adanya konsep Ratu Adil.
Sebenarnya gerakan petani yang terjadi khususnya di Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh keagamaan. Seperti kita ketahui sebagian besar para pemimpin yang menggerakan para petani untuk melakukan suatu gerakan adalah orang-orang yang merupakan pemimpin keagamaan, seperti kiai, haji, alim ulama. Para pemimpin agama tradisional, mengendalikan lambang-lambang identitas dan harapan. Sebagai contoh dengan memberikan jimat ataupun ramalan akan datangnya kehidupan yang lebih baik. Hal ini dilakukan agar para pengikutnya yaitu petani terus setia terhadapnya untuk melakukan suatu pergerakan dalam perlawanan yang aktif dan bahkan untuk mengilhami pemberontakan bersenjata.
Di dalam masyarakat agraria khususnya di Jawa, dalam sistem kepemilikan tanah dibagi berdasarkan status sosial. Kelas pertama yaitu petani pemilik disebut juga kuli kenceng. Kelas kedua adalah petani penyewa atau disebut kuli karang kopek. Kelas ketiga adalah petani penggarap atau sering disebut bujang. Kelas status yang ketiga inilah yang selalu menjadi sasaran kebengisan atau kesewenang-wenangan bagi kelas yang berada di atasnya maupun penguasa. Selain berdasarkan status sosial, kepemilikan tanah juga didasarkan pada lamanya bermukim di desa dengan diberikan status tertinggi.  Menurut Koentjaraningrat (Billah, 1984: 254) menyebutkan terdapat 4 macam kepemilikan tanh di jawa, yaitu :
a.       Sistem milik umum (komunal) dengan pemakaian beralih
b.      Sistem milik umum dengan pemakaian bergilir
c.       Sistem milik umum dengan pemakaian tetap
d.      Sistem milik individu yang didapat secara turun temurun
Ketiaka pemerintahan kolonial mulai datang ke Indonesia, sistem kepemilikan tanah yang sebelumnya begitu teratur dan memiliki suatu hubungan yang saling menguntungkan antara kelas tertinggi dengan kelas terendah (adanya hubungan patron and client), secara beangsur-angsur mulai berubah. Ketika abad 19 pemerintahan kolonial mulai memperluas dan merasionalisasikan administrasi pemerintahan yang disesuaikan dengan paham-paham pemerintahan barat. Pemerintahan kolonial juga memperkenalkan konsep-konsep hak milik baru yang telah melemahkan ikatan-ikatan tata tertib tradisional. Yang menyebabkan terdainya suatu proses sekularisasi yang menimbulkan perpecahan antara kepercayaan keagamaan dan wibawa politik. Oleh karena itu banyak golongan pemuka agama muncul sebagai kekuatan-kekuatan yang menentang penetrasi barat.
Salah satu kasusnya adalah mengenai kepemilikan tanah adalah peristiwa gerakan Ciomas pada tahun 1886.  Yang menjadi penyebabnya adalah Particuliere Landerijen atau tanah-tanah partikulir. Partikuliere Landerijen adalah tanah-tanah milik pribadi yang sangat luas, pemilik-pemiliknya dapat disebut tuan tanah yang mempunyai hak feodal terhadap para penyewa tanah mereka. Termasuk hak istimewa untuk memungut pajak-pajak pribadi dan tugas kerja paksa yang berat. Pemerintah kolonial memang jarang ikut campur dalam urusan intern tanah-tanah partikulir tersebut. pemerintah juga memperbolehkan prraktek kesewenang-wenangan tersebut melampaui batas bahkan berlangsung tanpa adanya usaha perbaikan. Gerakan rakyat melawan pemerasan di tanah partikelir akhirnya berujung kepada kerusuhan.
Pada kasus gerakan Ciomas ini, jika dilihat dari setting sosial budaya tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan yang terjadi di Jawa lainnya. Yaitu tentang adanya konsep ratu adil serta kepercayaan akan datangnya suatu kehidupan yang aman tenteram serta makmur. Masyarakat pedesaan disana terutama para petani memiliki kepercayaan hal-hal yang bersifat ghaib yang mengatur kehidupan mereka. Dalam gerakan Ciomas ini konsep sosial budaya yang muncul adalah yang pertama mileniarisme, milleniarisme adalah suatu gerakan yang mengahrapkan kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Begitu pun dengan gerakan para petani ini mengharapkan dengan melakukan suatu gerakan terhadap para tuan tanah dapat mendatangkan suatu kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Mereka berharap mereka akan dapat terhindar dari kesewenang-wenangan para tuan tanah pada masa itu. Yang kedua adalah Mesianisme, yaitu gerakan petani yang memperjuangkan datangnya seorang juru selamat, yang akan menegakkan keadilan dan perdamaian dalam sebuah negara yang makmur. Hal ini terlihat ketika seorang pemimpin gerakan yang bernama Apan, ia mengaku sebagai Imam Mahdi, para petani yang pada saat itu memiliki suatu kepercayaan akan datangnya seorang juru selamat, ratu adil, yang akan menegakkan keadilan dan perdamaian dalam sebuah negara yang makmur seperti menambah suatu keyakinan bahwa seorang ratu adil itu memang akan muncul, dan akan membebaskan mereka dari penderitaan yang dialami. Yang ketiga adalah konsep mengenai perang suci, konsep ini meruapakan unsur dari agama islam yaitu perang jihad. Disini jelas terlihat bahwa gerakan petani yang terjadi di Ciomas tidak hanya gerakan petani semata, namun juga dipengaruhi oleh unsur agama islam yang sebenarnya menjadi dasar gerakan petani yang terjadi di Indonesia khususnya. Dalam setiap gerakan petani yang terjadi di Indonesia memang tidak terlepas dari pengaruh agama, sosok pemimpinnya pun kebanyakan adalah dari golongan pemuka agama yang memiliki kharisma yang tinggi di mata para pengikutnya.
Secara politik gerakan petani Ciomas memang menentang akan kebijaksanaan pemerintah kolonial secara tidak langsung. Seperti telah dijelaskan bahwa munculnya tanah-tanah partikulir tersebut adalah ketika masuknya pengaruh kekuasaan kolonial barat. Sampai dengan tahun 1915 sekitar 1,2 juta hektar tanah perkebunan dan persawahan telah dijual oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada pihak swasta. Sehingga para petani hanya dianggap sebagai buruh tani mendapatkan upah sekitar 12,5 cent per hari. Disamping itu para petani atau buruh tani tersebut diwajibkan untuk melakukan kerja 5 hari setiap bulannya tanpa mendapatkan upah. Dalam kasus ini terlihat bahwa politik yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda memang telah memberikan dampak yang cukup besar dalam sistem kehidupan, ekonomi bahkan politik. Secara otomatis membawa perubahan dan bahkan kegoncangan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Masuknya pengaruh belanda tersebut telah mengubah struktur masyarakat yang sebelumnya memiliki hubungan yang tradisional, tindakan Belanda menghapus kedudukan menurut adat penguasa pribumi dan menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda telah meruntuhkan kewibawaan tradisional penguasa pribumi. antara penguasa dan rakyat memiliki suatu hubungan yang saling menguntungkan dan saling menghormati, berubah menjadi suatu ancaman bagi rakyat kecil, karena pemimpin atau penguasa pribumi sendiri  sudah membelot ke pemerintahan kolonial. Dengan masuknya sistenm ekonomi uang, beban rakyat menjadi semakin berat. Sehingga tingkat kesejahteraan rakyat semakin menurun hingga mencapai suatu taraf tingkat kemiskinan yang tinggi. Praktek pemerasan dan penindasan terhadap kaum petani tersebut semakin menjadikan rakyat semakin lemah dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Hal itu terjadi karena umumnya para pejabat seperti demang atau pencalang lebih mementingkan kepentingan pribadi mereka, agar mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Namun dibalik pemberontakan-pemberontakan petani yang terjadi, terutama di Ciomas pada tahun 1886, ternyata bukan hanya karena penderitaan akibat penindasan yang dilakukan oleh kakitangan tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda belaka, akan tetapi terdapat suatu idealisme dibalik pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Berdasarkan aspek kepemimpinannya, pemberontak Ciomas seperti telah dijelaskan sebelumnya memang mengandung unsur agama yang kental. Pemimpin pemberontakannya pun beragama islam dan ia mengaku sebagai Imam Mahdi. Datangnya seorang Imam Mahdi tersebut sesuai kepercayaan masyarakat akan datangnya seorang mesias yang akan membebaskan mereka dari penderitaan yang selama ini dialami. Oleh karena itu ketika sosok pemimpin Apan dan kemudian Muhammad Idris muncul untuk merekrut para petani untuk melakukan suatu gerakan pemberontakan, dengan mudah dapat mengajak para petani tersebut untuk menjadi pengikutnya untuk melakukan aksi gerakan anti pemerasan. Namun belum ditemukan sumber yang akurat bagaimana cara pemimpin pemberontakan ini meyakinkan pengikut-pengikutnya, apakah dengan cara pembagian jimat ataupun dengan hal-hal ghaib lainnya. dapat disimpulkan bahwa pemikiran masyarakat indonesia pada saat itu masih tradisional dengan segala pemikiran irasional yang tinggi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar