GERAKAN
PETANI CIOMAS (1886)
Gerakan anti pemerasan
atau penghisapan merupakan gerakan yang terjadi di tanah partikulir, yaitu
wilayah yang dibeli oleh swasta dari Belanda. Timbulnya tanah partikulir adalah
akibat penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda sejak zaman VOC, dan terus
berjalan sampai pada abad 19. Semua tanah partikulir tersebut merupakan
pemberian VOC kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa dalam menjaga
ketentraman suatu wilayah. Tanah-tanah tersebut berada di daerah di sekitar
Bogor. Hal ini menimbulkan agitasi kaum petani di wilayah tanah partikelir
sepanjang abad XIX dan awal abad XX. pada umumnya adanya gerakan-gerakan yang
terjadi di tanah partikelir adalah disebabkan oleh adanya pungutan pajak yang
tinggi serta tuntutan pelayanan kerja yang memberatkan kaum petani di daerah
tersebut.
Para tuan tanah
yang menguasai tanah partikelir senantiasa melakukan eksploitasi dengan cara
menarik hasil secara langsung, mengumpulkan uang sewa,dan bagian panen, bahkan
ada pula yang tidak hanya memungut pajak namun juga beserta tenaga kerja dari
petani-petani yang menanami tanah tersebut. Para tuan tanah selalu bertindak
sewenang-wenang terhadap petani, seperti memaksakan melakukan segala macam
kehendaknya, menuntut penyerahan tenaga kerja, serta mengusir para petani
apabila mereka tidak dapat membayar hutang atau memenuhi pekerjaan yang
diminta, serta membayar pajak sebagaimana mestinya.
Gerakan petani
dalam melawan tuan tanah adalah gerakan disebut gerakan petani Ciomas pada
tahun 1886. Peristiwa ini merupakan suatu pertentangan antara para petani
dengan tuan tanah dan pemerintah. Yang dilatarbelakangi oleh adanya pungutan
cukai, adanya suatu ketidakadilan dengan salah satu praktek perbudakan ( kerja
paksa ), pajak yang tinggi, dan lain sebagainya. Salah satu pemimpin
pemberontakan adalah Apan, yang berperan sebagai imam mahdi dan menyerukan
perang suci. Pimpinan pemberontak yang lainnya adalah Mohamad Idris, yang
memakai gelar Panembahan.
Sebelum memuncaknya perlawanan di
daerah Ciomas terjadi eksploitasi yang sangat meningkat setelah para tuan tanah
berusaha mengintensifkan produksiyna untuk kepentingan pasaran di luar desa.
Situasi tersebut akhirnya memunculkan suatu situasi yang buruk serta konflik
yang tajam. Hal tersebut menyebabkan terjadi migrasi ke luar wilayah tempat
tinggal para petani untuk menghindari pajak serta penolakan terhadap kerja
paksa terutama di perkebunan-perkebunan kopi. Ketidakpuasan itu kemudian memicu
perlawanan yang terbuka dan penuh dengan kekerasan. Dengan mengambil bentuk
pemberontakan secara langsung pada bulan Februari 1886, yaitu ketika Camat
Ciomas Haji Abdurrakhim di bunuh. Kemudian pada 19 Mei 1886 Idris beserta
pengikutnya menduduki Ciomas sealatan. Pada saat itu terjadi pembunuhan
terhadap kalangan tuan tanah.
Umumnya gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia merupakan suatu
ketidakpuasan terhadap pemerintah terutama pemerintah kolonial, yang sebagian
besar mereka bertindak sewenang-wenang terhadap kaum marginal atau petani yang
ada di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Umumnya para petani yang melakukan
gerakan ini mengungkapakan suatu bentuk protes yang mendasar terhadap keadaan
hidup yang terjadi di pedesaan. Hampir dari semua gerakan yang telah terjadi,
menunjukkan adanya konsep Ratu Adil.
Sebenarnya
gerakan petani yang terjadi khususnya di Indonesia memang tidak lepas dari
pengaruh keagamaan. Seperti kita ketahui sebagian besar para pemimpin yang
menggerakan para petani untuk melakukan suatu gerakan adalah orang-orang yang
merupakan pemimpin keagamaan, seperti kiai, haji, alim ulama. Para pemimpin
agama tradisional, mengendalikan lambang-lambang identitas dan harapan. Sebagai
contoh dengan memberikan jimat ataupun ramalan akan datangnya kehidupan yang
lebih baik. Hal ini dilakukan agar para pengikutnya yaitu petani terus setia
terhadapnya untuk melakukan suatu pergerakan dalam perlawanan yang aktif dan
bahkan untuk mengilhami pemberontakan bersenjata.
Di dalam
masyarakat agraria khususnya di Jawa, dalam sistem kepemilikan tanah dibagi
berdasarkan status sosial. Kelas pertama yaitu petani pemilik disebut juga kuli
kenceng. Kelas kedua adalah petani penyewa atau disebut kuli karang kopek.
Kelas ketiga adalah petani penggarap atau sering disebut bujang. Kelas status
yang ketiga inilah yang selalu menjadi sasaran kebengisan atau
kesewenang-wenangan bagi kelas yang berada di atasnya maupun penguasa. Selain
berdasarkan status sosial, kepemilikan tanah juga didasarkan pada lamanya
bermukim di desa dengan diberikan status tertinggi. Menurut Koentjaraningrat (Billah, 1984: 254)
menyebutkan terdapat 4 macam kepemilikan tanh di jawa, yaitu :
a. Sistem
milik umum (komunal) dengan pemakaian beralih
b. Sistem
milik umum dengan pemakaian bergilir
c. Sistem
milik umum dengan pemakaian tetap
d. Sistem
milik individu yang didapat secara turun temurun
Ketiaka
pemerintahan kolonial mulai datang ke Indonesia, sistem kepemilikan tanah yang
sebelumnya begitu teratur dan memiliki suatu hubungan yang saling menguntungkan
antara kelas tertinggi dengan kelas terendah (adanya hubungan patron and
client), secara beangsur-angsur mulai berubah. Ketika abad 19 pemerintahan
kolonial mulai memperluas dan merasionalisasikan administrasi pemerintahan yang
disesuaikan dengan paham-paham pemerintahan barat. Pemerintahan kolonial juga
memperkenalkan konsep-konsep hak milik baru yang telah melemahkan ikatan-ikatan
tata tertib tradisional. Yang menyebabkan terdainya suatu proses sekularisasi
yang menimbulkan perpecahan antara kepercayaan keagamaan dan wibawa politik.
Oleh karena itu banyak golongan pemuka agama muncul sebagai kekuatan-kekuatan
yang menentang penetrasi barat.
Salah satu
kasusnya adalah mengenai kepemilikan tanah adalah peristiwa gerakan Ciomas pada
tahun 1886. Yang menjadi penyebabnya
adalah Particuliere Landerijen atau tanah-tanah partikulir. Partikuliere
Landerijen adalah tanah-tanah milik pribadi yang sangat luas,
pemilik-pemiliknya dapat disebut tuan tanah yang mempunyai hak feodal terhadap
para penyewa tanah mereka. Termasuk hak istimewa untuk memungut pajak-pajak
pribadi dan tugas kerja paksa yang berat. Pemerintah kolonial memang jarang ikut
campur dalam urusan intern tanah-tanah partikulir tersebut. pemerintah juga
memperbolehkan prraktek kesewenang-wenangan tersebut melampaui batas bahkan
berlangsung tanpa adanya usaha perbaikan. Gerakan rakyat melawan pemerasan di
tanah partikelir akhirnya berujung kepada kerusuhan.
Pada kasus
gerakan Ciomas ini, jika dilihat dari setting sosial budaya tidak jauh berbeda
dengan gerakan-gerakan yang terjadi di Jawa lainnya. Yaitu tentang adanya
konsep ratu adil serta kepercayaan akan datangnya suatu kehidupan yang aman
tenteram serta makmur. Masyarakat pedesaan disana terutama para petani memiliki
kepercayaan hal-hal yang bersifat ghaib yang mengatur kehidupan mereka. Dalam
gerakan Ciomas ini konsep sosial budaya yang muncul adalah yang pertama
mileniarisme, milleniarisme adalah suatu gerakan yang mengahrapkan kehidupan
yang lebih baik pada masa yang akan datang. Begitu pun dengan gerakan para
petani ini mengharapkan dengan melakukan suatu gerakan terhadap para tuan tanah
dapat mendatangkan suatu kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Mereka berharap mereka akan dapat terhindar dari kesewenang-wenangan para tuan
tanah pada masa itu. Yang kedua adalah Mesianisme, yaitu gerakan petani yang
memperjuangkan datangnya seorang juru selamat, yang akan menegakkan keadilan
dan perdamaian dalam sebuah negara yang makmur. Hal ini terlihat ketika seorang
pemimpin gerakan yang bernama Apan, ia mengaku sebagai Imam Mahdi, para petani
yang pada saat itu memiliki suatu kepercayaan akan datangnya seorang juru
selamat, ratu adil, yang akan menegakkan keadilan dan perdamaian dalam sebuah
negara yang makmur seperti menambah suatu keyakinan bahwa seorang ratu adil itu
memang akan muncul, dan akan membebaskan mereka dari penderitaan yang dialami.
Yang ketiga adalah konsep mengenai perang suci, konsep ini meruapakan unsur
dari agama islam yaitu perang jihad. Disini jelas terlihat bahwa gerakan petani
yang terjadi di Ciomas tidak hanya gerakan petani semata, namun juga
dipengaruhi oleh unsur agama islam yang sebenarnya menjadi dasar gerakan petani
yang terjadi di Indonesia khususnya. Dalam setiap gerakan petani yang terjadi
di Indonesia memang tidak terlepas dari pengaruh agama, sosok pemimpinnya pun
kebanyakan adalah dari golongan pemuka agama yang memiliki kharisma yang tinggi
di mata para pengikutnya.
Secara politik
gerakan petani Ciomas memang menentang akan kebijaksanaan pemerintah kolonial
secara tidak langsung. Seperti telah dijelaskan bahwa munculnya tanah-tanah
partikulir tersebut adalah ketika masuknya pengaruh kekuasaan kolonial barat.
Sampai dengan tahun 1915 sekitar 1,2 juta hektar tanah perkebunan dan
persawahan telah dijual oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada pihak
swasta. Sehingga para petani hanya dianggap sebagai buruh tani mendapatkan upah
sekitar 12,5 cent per hari. Disamping itu para petani atau buruh tani tersebut
diwajibkan untuk melakukan kerja 5 hari setiap bulannya tanpa mendapatkan upah.
Dalam kasus ini terlihat bahwa politik yang diterapkan oleh pemerintah Hindia
Belanda memang telah memberikan dampak yang cukup besar dalam sistem kehidupan,
ekonomi bahkan politik. Secara otomatis membawa perubahan dan bahkan
kegoncangan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Masuknya pengaruh belanda
tersebut telah mengubah struktur masyarakat yang sebelumnya memiliki hubungan
yang tradisional, tindakan Belanda menghapus kedudukan menurut adat penguasa
pribumi dan menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda telah
meruntuhkan kewibawaan tradisional penguasa pribumi. antara penguasa dan rakyat
memiliki suatu hubungan yang saling menguntungkan dan saling menghormati,
berubah menjadi suatu ancaman bagi rakyat kecil, karena pemimpin atau penguasa
pribumi sendiri sudah membelot ke
pemerintahan kolonial. Dengan masuknya sistenm ekonomi uang, beban rakyat
menjadi semakin berat. Sehingga tingkat kesejahteraan rakyat semakin menurun
hingga mencapai suatu taraf tingkat kemiskinan yang tinggi. Praktek pemerasan
dan penindasan terhadap kaum petani tersebut semakin menjadikan rakyat semakin
lemah dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Hal itu terjadi karena
umumnya para pejabat seperti demang atau pencalang lebih mementingkan
kepentingan pribadi mereka, agar mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Namun dibalik pemberontakan-pemberontakan petani yang terjadi, terutama di
Ciomas pada tahun 1886, ternyata bukan hanya karena penderitaan akibat
penindasan yang dilakukan oleh kakitangan tuan tanah dan pemerintah Hindia
Belanda belaka, akan tetapi terdapat suatu idealisme dibalik
pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Berdasarkan
aspek kepemimpinannya, pemberontak Ciomas seperti telah dijelaskan sebelumnya
memang mengandung unsur agama yang kental. Pemimpin pemberontakannya pun
beragama islam dan ia mengaku sebagai Imam Mahdi. Datangnya seorang Imam Mahdi
tersebut sesuai kepercayaan masyarakat akan datangnya seorang mesias yang akan
membebaskan mereka dari penderitaan yang selama ini dialami. Oleh karena itu
ketika sosok pemimpin Apan dan kemudian Muhammad Idris muncul untuk merekrut
para petani untuk melakukan suatu gerakan pemberontakan, dengan mudah dapat
mengajak para petani tersebut untuk menjadi pengikutnya untuk melakukan aksi
gerakan anti pemerasan. Namun belum ditemukan sumber yang akurat bagaimana cara
pemimpin pemberontakan ini meyakinkan pengikut-pengikutnya, apakah dengan cara
pembagian jimat ataupun dengan hal-hal ghaib lainnya. dapat disimpulkan bahwa pemikiran masyarakat indonesia pada saat itu masih tradisional dengan segala pemikiran irasional yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar