DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA
(Cikal Bakal Budaya Korupsi)
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari
bahasa latin corruptio dari kata
kerja corrumpere yang berarti busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalikan, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik itu politikus maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya yang dekat dengan mereka,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dengan
kata lain mereka menggunakan uang negara atau
perusahaan untuk kepentingan pribadi. Berdasarkan sudut pandang hukum
tindakan korupsi merupakan tindakan yang melawan hukum yang dapat dijerat
dengan hukuman yang berat. Tindakan korupsi ini masuk ke dalam penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana, yang dilakukan untuk memperkaya diri,
orang lain atau korporasi, yang sudah jelas bahwa hal tersebut sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Ada beberapa macam tindakan korupsi
yang dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, memberi hadiah atau menerima
hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam
jabatan, ikut serta dalam pengadaan atau menerima gratifikasi. Budaya korupsi
ini sudah merajalela dan sulit sekali untuk diberantas, karena bukan hanya
pejabat yang banyak terlibat dalam kasus korupsi. Masyarakat sekalipun sudah
menganggap bahwa hal itu sudah merupakan hal yang biasa. Karena perlu kita
garis bawahi bahwa korupsi itu tak hanya dalam hal keuangan.
Sebagian orang
manyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki
seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Menurut Baharuddin Lopa (Baharudin Lopa
dan Moh.Yamin,1987:6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah
suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi
serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang
tindak pidana korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara atau perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Yang termasuk ke dalam pengertian korupsi pula ialah suap terhadap para
pejabat atau pegawai negeri.
Selain tokoh diatas
masih banyak yang mengungkapkan pengertian korupsi ini diantaranya, menurut Dr.
Kartini Kartono korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna menegduk keuntungan pribadi dan tentu saja merugikan
kepentingan umum. Menurut Huntington (1968) korupsi merupakan perilaku pejabat
publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit membagi tiga
bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori
Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum di bawah tujuan-tujuan pribadi
yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan
umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap
masa bododh terhadap akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Isitilah
korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi,
definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan
tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seoarang
administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak
resmi dari para investor dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya
dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik
(little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan kraton dianggap sebagai pusat
budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah
daripada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri
sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
Dengan batasan
pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh
pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Demikian halnya
di Indonesia dengan rumusan yang demikian rigid dapat mempersempit arti apa
yang dimaksud perbuatan korupsi. Sehingga banyak pelaku koruypsi di Indonesia
yang lolos dari jeratan hukum. Unutk menghindari bias pengertian korupai ini
perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokkrasi tentang apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan
publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan
upaya untuk mengurangi korupsi.
Pengertian korupsi ini
juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat
materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan
untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak
sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan
kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungkan rakyat.
Cikal Bakal Munculnya Budaya Korupsi serta Perkembangannya
Jika
ditelusuri lebih dalam lagi, gejala korupsi yang berkembang bukanlah gejala
penyakit sosial yang muncul di era modern saat ini. Namun, melalui sebuah
proses dari setiap masa yang dilewati. Periode yang dilewati dalam sebuah
tradisi atau gejala sosial akan memuncak dan muncul minimal setelah tiga
generasi dengan perhitungan satu generasi selama 25 tahun. Korupsi yang saat
ini mendera masyarakat Indonesia telah berakar kuat karena adanya proses yang
cukup panjang. Tidak hanya di Indonesia, tetapi se4mua bangsa juga berakar dari
sejarah ke masa silam. Korupsi adalah suatu gejala sosial dalam sejarah dan
masa kini.
Menurut
penelitian budaya korupsi khususnya yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung
sejak zaman dahulu ketika masih dalam zaman kerajaan. Hal ini diungkapkan oleh
Sutherland, ia melakukan sebuah penelitian. Ia menyimpulkan bahwa secara
historis praktek korupsi kerap terjadi dalam pemerintahan di Indonesia,
khususnya sejak masa pemerintahan kerajaan mataram islam. Sebelum datangnya
bangsa Barat masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang feodal yang korup
meskipun mempunyai budaya tinggi dan lembaga semi birokrasi. Datangnya bangsa
Barat, menjadi faktor pendorong yang memperkuat budaya korup itu. Artinya
menurut Sutherland telah terjadi kolusi buadaya yang memperkuat model korupsi
yang sudah ada sebelumnya.
Dalam
konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar
dan membudaya. Bahkan di kalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang
menganggap korupsi merupakan sesuatu yang wajar. Korupsi berawal dari
pembiasaan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah
terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Jika dikatakan telah
membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan
berkembang ?. tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-usul
budaya korupsi di Indonesia yang pada hakikatnya telah ada sejak dulu ketika
daerah-daerah di nusantara masih mengenal sistem pemerintahan feodal (
Oligharki Absolut), atau sederhananya dapat dikatakan, pemerintah di saat
daerah-daerah yang ada di nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang
dipimpin oleh kaum bangsawan yang notabene memiliki kekuasaan penuh. Korupsi
yang ada saat ini berasal dari masa lalu yang bertumpu pada kekuasaan “
birokrasi patrimonial” dan bertumpu pada sistem feodal.
Mentalitas
yang belum hilang pada jati diri bangsa inilah salah satu sebab sulitnya
membangun masyarakat yang bersih dari korupsi serta membangun masyarakat
modern. Feodal juga tidak bisa kita salahkan sepenuhnya karena Jepang yang
dulunya mungkin sampai saat ini merupakan negara feodal yang mampu bangkit dan
maju. Mereka mampu mengendalikan zaman feodalnya, bukan tertinggal zaman dengan
alasan adanya mental feodal.
Secara
garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3 fase
sejarah, yakni : zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti
sekarang.
Zaman Kerajaan
Sistem kerajaan di
nusantara tidak dapat hilang begitu saja. Indonesia atau dulunya Nusantara
menggunakan sistem kerajaan lebih dari 3 abad, sedangkan sistem pemerintahan
demokratis di Indonesia masa hidupnya belum genap satu abad terhitung sejak
Indonesia merdeka.
Kerajaan yang silih
berganti juga sepanjang sejarah juga menjadi pandangan tersendiri sebagai akar
sejarah. Pergantian tersebut banyak terjadi karena adanya perpecahan sejarah di
Nusantara. Hal itu memperlihatkan satu hal bahwa bangsa kita pada saat itu
masih rapuh. Salah satu sebab perpecahan itu adalah adanya oknum-oknum pejabat
daerah yang tergiur untuk memperkaya diri sehingga memisahkan diri dari
kekuasaan pusat.
Pada fase kerajaan
budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatarbelakangi oleh adanya
kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat
Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti Mataram,
Majapahit, Singosari, Demak, Banten, dll, mengajarkan bahwa konflik kekuasaan yang
didertai dengan motif untuk memperkaya diri, telah menjadi faktor utama
kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Hal tersebut pula yang menjadi embrio
lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang
korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita di kemudian hari. Salah
satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih
dikenal dengan abdi dalem. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini cenderung
selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja.Kerasnya feodalisme
menyebabkan seorang bupati atau penguasa pada wilayah tertentu harus sering menyerahkan
upeti kepada raja yang memerintah bahkan terlebih lagi agar bupati itu ingin
tetap menjadi bupati. Pemberian upeti atau hadiah mungkin pada zaman itu
dianggap sebagai hal yang wajar dalam sistem pemerintahan yang feodal. Tapi
justru hal inilah yang membentuk karakter dari para pemimpin pada zaman itu dan
masih mengakar sampai sekarang.
Pengertian upeti itu
sendiri dalam persfektif sejarah, sebenarnya merupakan pajak yang tidak
mengikat namun posisinya merupakan kewajiban. Upeti dapat dikatakan sebagai
suatu tiket untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Suhartono menyatakan
praktek upeti seperti ini tergolong ke dalam kategori penyuapan yang tidak lain
merupakan suatu bentuk atau atau salah satu jenis korupsi. Model serta praktek
korupsi seperti ini sudah sudah marak dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal
ini menunjukkan bahwa budaya feodal di zaman dulu telah terwarisi hingga
sekarang. Tentu saja budaya korupsi yang ada di Indonesia sekarang sangat sulit
untuk diberantas.
Secara akar budaya,
korupsi akan selalu muncul jika dalam suatu masyarakat tidak ada pemisahan
antara milik pribadi dan milik umu. Seorang raja tradisional yang menggunakan
penghasilan negara, tidaklah disebut korupsi. Begitu juga dengan pejabat daerah
yang menggunakan penghasilan dari jabatannya untuk kepentingan pribadi yang
harus agung, tidaklah bisa disebut korup.
Dari kejadian sejarah
terdapat hal yang menarik untuk dicatat adalah peninggalan Mataram yang
menyuburkan korupsi saat ini, meskipun pada saat itu belum didefinisikan
sebagai tindakan korupsi, yaitu sistem penggajian kerajaan Mataram. Soemarsid
Martono (1963) mencatat adanya sistem salary-financing
dalam bentuk hak milik berupa tanah garapan yang diberikan kepada pejabat
sesuai dengan kedudukannya. Dari tanah garapan itu, sang pejabat diharapkan
bisa mengongkosi semua pengeluaran yang bertalian dengan pelaksanaan tugas dan
kewajibannya. Sistem ini secara tradisional melahirkan penyimpangan dalam
pengelolaan negara karena tidak ada pemisahan antara uang pemerintahan dan
milik pribadi. Telah terjawab sudah, salah satu penyebab korupsi saat ini
adalah sistem kerajaan yang saat itu tidak masuk dalam kategori korupsi, tetapi
kini adalah korupsi.Selain itu Mataram tempat susuhan menyita milik pejabat
kerajaan yang dicopot dari jabatannya. Namun, para pejabat-pejabat kerajaan
yang diperkirakan terlalu memperkaya diri sendiri karena denda-denda istimewa.
Denda ini seharusnya masuk ke dalam kas-kas raja.
Sistem nilai
tradisional yang bersumber pada masa silam tersebut masih saja dipelihara dan
dijadikan tameng pembenaran budaya atas pratek-praktek penyimpangan kekuasaan
oleh aparat pemerintah dalam konteks dan perubahan kondisi yang ada di
lapangan. Lalu, yang perlu kita tambahkan lagi adalah nilai solidaritas kita
yang tinggi terutama pada sanak saudara dahulu, baru kemudian teman terdekat.
Budaya inilah yang pada saat ini turut digunakan dalam pembagian kekuasaan
padahal tindakan tersebut termasuk tindakan korupsi yang lebih dikenal dengan
istilah nepotisme. Dulu memang sudah menjadi hal biasa ketika kita mengangkat
pejabat daerah dari kalangan keluarga kita karena dulu masih bersifat birokrasi
patrimonial dan yang terjadi kini hanya metode serta sistem yang berbeda. Turut
diakui bahwa memang perjalanan sejarah dengan berbagai macam perubahannya telah
menjadi bagian dari terbentuknya budaya korupsi di negara kita dan tentunya
mungkin di negara lain juga. Korupsi yang pasti ada di setiap waktu dan setiap
tempat karena bentuk korupsi selalu bermodifikasi bentuknya sesuai dengan
tempat dan waktunya. Namun, yang perlu dicatat kita tidak sepenuhnya
menyalahkan sistem yang ada pada kerajaan. Korupsi yang ada di Indonesia juga
akibat dari pemerintahan kolonial Belanda.
Zaman Penjajahan
Pada
zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem
budaya sosial politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para
penjajah kolonial selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang di kalangan
tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk
menjalakan daerah administratif tertentu, misalnya demang, tumenggung, dan
pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah
belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah tetorial tertentu. Mereka diangkat
dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, yang
digunakan oleh Belanda untuk memperkaya diri dengan menhisap hak dan kehidupan
rakyat Indonesia.
VOC
sebagai satu-satunya perusahaan dagang multinasional dan terbesar di zamannya
dengan wilayah kerja yang begitu luas mulai dari Amerika Serikat, Afrika bagian
Selatan, ssebagian Wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara
khususnya Indonesia terpaksa bangkrut karena korupsi yang begitu besar di
setiap hirarki struktural di dalamnya. Dan dengan bubarnya bubarnya
pemerintahan Hindia Belanda langsung diambil alih oleh kerajaan Belanda. Khusus
di wilayah Indonesia dengan banyak pulau dan kerajaan-kerajaan kecil di
dalamnya, pemerintah Hindia Belanda menerapkan Teori asosiasi.yaitu pemerintah
Hindia Belanda mengangkat para bangsawan pribumi, bupati, atau adipati dan kaum
priayi untuk menjadi regen untuk memerintah di wilayah kekuasaan masing-masing.
Para regen bertugas menjalankan pemerintahan di suatu wilayah kabupaten seperti
menarik pajak dan penyaluran hasil-hasil perkebunan. Penghasilan seorang regen
dirinci menjadi 4 bagian. Pertama, gaji tetap bulanannya. Kedua, jumlah khusus
sebagai kompensasi atas hak pemindahan ke Pemerintaha Belanda. Ketiga, bonus
dari bagian kuantitas hasil serahan produk-produk kabupatennya seperti kopi,
gula, nila, kayu manis, dll. Dan terakhir, pemakaian tenaga serta kekayaan para
bawahannya.
Para
regen untuk mempertahankan kebangsawannya serta menimbulkan kesan bangsawan
pada penduduknya harus senantiasa hidup mewah bahkan pengeluarannya harus
melebihi dari pendapatannya. Oleh karena itu pemerintaha Hindia Belanda sering
memberikan hadiah bagi para regen yang mengirimkan penduduknya untuk kerja
paksa tanpa gaji. Sebenarnya keturunan regen tidak sendirinya menjadi regen,
tetapi kembali untuk menimbulkan kesan bangsawan di hadapan penduduknya seorang
regen harus membayar mahal dan, menyetor upetikepada pemerintah Hindia Belanda
agar kelak digantikan oleh anaknya. Jelas pada masa itu rakyat biasa tidak
sadar bahwa pemimpinnya pada dasarnya pemimpin bayaran. Dan tidak diragukan
lagi pemberantasan penyalahgunaan kekuasaan ini pasti sangat sulit bahkan
sampai di zaman demokrasi sekarang ini.
Sebenarnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti sriwijaya, majapahit dan mataram
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Selain itu,
terdapat pula campur tangan dari pemrintahan Belanda dengan cara memecah belah.
Pada tahun 1755 dengan perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun
1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua kekuasaan,begitu pula
dengan Kasultanan Yogyakarta.
Benar
bahwa penyebab pecah lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi
dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah
sudah ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing mampu
menjajah Indonesia khususnya Belanda. Hal tersebut lebih karena perilaku elit
bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang
mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan ”character building”,
mengabaikan hukum apalagi demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar masyarakat di
Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan
yang lebih parah mudah di adu domba.
Belanda
memahami betul akar “ budaya korup “ yang tumbuh subur pada banga Indonesia,
maka melalui politik “ Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukan
nusantara. Namun, bagaimana pun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi
dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak
kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta berintegrasi seperti
sekarang. Gejala korupsi dan penyimpangan kekuasaan pada waktu itu masih
didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris belum mengenal
atau belum memahaminya.
Perilaku
korup bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya
orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar mengkorup harta-harta
Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur
dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul
Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke
negeri Belanda. Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh
raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika Menguasai Nusantara (1800-1942) minus
Zaman Inggris (1811-1816), akibat kebijakan itulah banyak terjadi
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Namun, yang lebih menyedihkan
lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi juga dilakukan oleh bangsa
Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan
Culture Stelsel yang berarti sistem pembudayaan. Isi peraturan dalam culture
stelsel sebenarnya sangat manusiawi dan sangat beradab, namun pelaksanaannya
sangat tidak manusiawi, mirip dengan Dwang Stelsel yang artinya sistem
pemaksaan.
Jepang
yang datang menjajah Indonesia setelah Belanda ternyata tidak membawa perubahan
yang berarti bagi pemberantasan praktek korupsi birokrasi. Kehidupan rakyat
Indonesia bahkan secara kualitatif lebih sengsara. Dalam catatan ahli sejarah,
periode pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana
segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala
tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan
bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon
jarak, yang akan di ambil bijinya sebagai alat penerangan. Sangat sulit untuk
mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu (Thamrin,2000).
Korupsi
pada masa pendudukan Jepang diperparah oleh adanya kekacauan ekonomi rakyat,
dan terlalu berorientasinya Jepang pada ambisi untuk memenangi perang di
kawasan Asia, sehingga pelayanan administrasi pemerintahan, pembangunan
ekonomi, dan kesejateraan rakyat diabaikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Thamrin
(2000), ahli sejarah banyak yang mencatat bahwa korupsi pada saat pendudukan
Jepang bahkan lebih parah dibandingkan masa VOC maupun masa pemerintahan
Belanda.
Zaman Modern
Fase
perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya
dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi
budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap
begitu saja, salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi
dan nepotisme. Hal tersebut tercermin dari perilaku pejabat-pejabat
pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde Lama Soekarno, yaang
akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto
hingga sekarang. Anderson (1972) pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia
sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia. King menambahkan bahwa korupsi
malah merajalela saat pemerintahan Belanda. Herbert Feith (1962) menuturkan
bahwa lepas dari belenggu penjajah, tepatnya setelah proklamasi kemerdekaan
1945, untuk sementara waktu korupsi menurun cukup signifikan.
Orde
Lama bukan berarti era dimana korupsi tidak mewabah. Budaya korupsi yang sudah
mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti yang telah
diuraikan sebelumnya, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia,
baik di era orde lama maupun di era orde baru. Titik tekan dalam persoalan
korupsi sebenarnya dalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah
dalam upaya memberantas korupsi. Ada beberapa catatan untuk menandai awal mula
munculnya korupsi di kalangan pejabat dalam negeri pada masa ini. Pertama,
ketika pemerintah orde lama membuat kebijakan untuk mengambil alih perusahaan
dan aset-aset asing, yaang dikenal dengan “ nesionalisasi” melalui sebuah
Undang-Undang yang dikeluarkan pada tahun 1958. Kebijakan yang sejatinya sarat
misi untuk memulihkan perekonomian nasional itu disalahgunakan oleh kalangan
militer. Yaitu dengan menguasai perusahaan hasil nasionalisasi, dengan
manajemen yang tidak terkontrol secara baik dan transparan oleh kalangan
masyarakat sipil. Kedua, ketika orde lama mngeluarkan kebijakan politik
benteng, yang sejatinya juga sarat misi untuk membantu para pengusaha dalam
negeri dapat dibentengi dan diproteksi negara. Tetapi kebijakan ini dalam
implementasinya diselewengkan dan hanya menghasilkan konkalikon serta sarat
KKN. Kondisi tersebut di perparah oleh sistem politik yang tidak demokratis,
sertaa saat itu pemerintah sedang menerapkan sistem demokrasi terpimpin.
Perbedaan pendapat, oposisi, dan kritik oleh kalangan sipil dinilai sebagai
kontraduktif, bahkan tidak jarang dianggap sebagai kontra revolusi. Inilah yang
menjadikan korupsi tidak dapat dikontrol dengan baik, apalagi diberantas. Di
masa pemerintahannya Soekarno pernah melakukan rasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing melalui suatu Undang-undang. Tetapi sebelum UU
tersebut diberlakukan pihak militer telah melakukan aksi sepihak dan merebut
perusahaan-perusahaan asing itu.
Pada era kepemimpinan Soekarno, tercatat
sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Paran dan Operasi Budhi
namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu
tugas Paran adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir
yang disediakan. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian
formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar
formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlocke karena kebanyakan pejabat berlindung
di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang
memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah
(kabinet Juanda).
Tahun
1963 melalui keputusan presiden no 275 tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas
mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga
ini kemudian dikenal dengan istilah “ Operasi Budhi”. Sasaranya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan pratek korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengal;ami
hambatan. Misaalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menoolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan. Dalam kurun waktu tiga bulan sejak
Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar
kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yanng cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi
dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor mengatakan bahwa
prestise persiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain. Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat
Revolusi) dimana Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi. Bisa dikatakan pada masa
orde lama ini tidak dapat memberantas tidak korupsi yang ada, hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor : pertama,
UU untuk merasionalisasi perusahaan asing belum diberlakukan. Kedua, pemerintah menerapkan politik
benteng. Ketiga, kegagalan
pemerintahan Demokrasi Terpimpin untuk mengatasi disintregrasi administrasi
kenegaraan.
Jadi
masalah korupsi dan pemberantasannya di masa pemerintahan Orde Lama bukan saja
korupsi dapat dikurangi, tetapi juga ti]dak diberantas. Di sisi, kebijakan
untuk memproteksi pengusaha tidak dipersiapkan matang, sehingga yang muncul
adalah perusahaan-perusahaan nasional yang semu, yang pada gilirannya lisensi
tersebut akhirnya disewakan secara tidak fair ( korup ).
Selanjutnya
pengalaman orde baru dalampemberantasan korupsi juga tidak jauh berbeda dari
Orde Lama. Bahkan pada masa Orde Baru korupsi malah semakin merajalela dan
masuk ke retorika politik belaka. Pada pidato kenegaraan di depan anggota
DPR/MPR tanggal 16 agustus 1967, Presidan Soeharto menyalahkan rezim orde lama
yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan
politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad
untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu
tidak lam kemudian dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai jaksa
agung. Tetapi TPK tidak mempunyai keberanian untuk membongkar korupsi yang
sudah mewabah, hingga akhirnya terjadi demokrasi mahasiswa serta pelajar secara
besar-besaran di tahun 1970, yang menuntut dan mendesak Soeharto memenuhi
janjinya untuk lebih serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina, Bulog,
dan Departemen Kehutanan, yang kemudian muncul inisiatif dibentuknya Lembaga
Komite Empat yang beranggotakan Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo A
Tjokroaminoto. Tugas lembaga ini adalah membersikan perusahaan yang terlibat
korupsi. Namun lembaga ini pun tidak mampu menjalankan tugasnya. Sehingga
dibentuklah OPSTIB yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo. Pada Era Reformasi
tindak pidana korupsi semakin menjamur di kalangan para penguasa. Bahkan pada
Era ini virus korupsi sudah mulai merasuki hampir seluruh elemen negara.
Mengapa Budaya Korupsi Sulit untuk Dihilangkan?
Korupsi
yang terjadi di Indonesia khususnya memang sangat sulit untuk diberantas.
Bagaimana telah kita ketahui sebelumnya bahwa budaya korupsi merupakan warisan
masa lalu. Hal seperti korupsi ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan, dimana
para penguasa yang menuntut adanya pembayaran wajib seperti upeti. Selain itu
tuntutan perekonomian bangsa Indonesia sendiri yang tidak stabil seringkali
menyebabkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang eharusnya tidak ia lakukan.
Sebagai contoh saja, seorang kepala keluarga, ia tak menghidupi anak istrinya
namun ayah ibunya juga kerabat yang lain. Yang tidak akan cukup hanya dengan
gaji pokok. Bagaimana pun harus ada usaha untuk mencukupi semua itu, meskipun
harus ditemph dengan cara-cara yang tidak halal seperti menerima suap dan
korupsi. Hal seperti ini pun bisa melahirkan budaya korupsi semakin menjamur
dan semakin sulit untuk diberantas.
Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan
Korupsi
merupakan suatu masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik
masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah masalah moral semata. Belakangan ini begitu banyak terdengar
kampanye sederhana yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, jika
morupsi ingin dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita,. Upaya
tersebut bukan salah namun keliru jika kita memandang persoalan ini secara
objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah upaya
kampanye ini hanya dijadikan sebagai
upaya penngalihan isu dari pejabat yang terlibat korupsi. Rendahnya moralitas
seseorang, memang menjadi salah satu penyebab korupsi, namun masih ada hal yang
lebih penting dari akar persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu
lebih substansial dari sekedar alasan moralitas. Salah satu di antara banyak
faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah sentralisme kekuasaan, atau
struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja.
Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde
Baru, dimana pemerintah dengan begitu mudahmenarik pajak dan uang rakyat atas
nama untuk pembangunan. Siapa yang menhalangi di cap sebagai anti pemerintah,
membahayakan stabilitas Negara. Kekuasaan negara yang terpusat kepada
segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yanng
kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor
penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di
Indonesia.
Pada
sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi
yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umu, juga tidak lepas dariu
bangunan kekuasaan yang dipraktekan oleh Orde Baru. Pemikiran masyarakat telah
secara otomatis terhegemoni oleh lingkungan sosial tang terbentuk dari bangunan
kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajarlah jika kemudian
sebagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah, juga ikut
bertindak sama dengan perilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang
otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintah inipun, tak segan untuk
menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta
menindas masyarakat. Ironisnya masyrakat terkesan diam dan tidak berani
bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi.
Akibatnya budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur
dan pragmatis. Misalnya, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi
Bupati atau Camat atau bahkan anggota DPR meski harus menghabiskan biaya yang
tidak sedikit dalam pemikirannya dengan satu pemikiran bahwa dana yang
dikeluarkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil yang akan didapat olehnya
nanti. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan
masyarakat yang semakin terpuruk.
How to register at Borgata Hotel Casino & Spa in New Jersey
BalasHapusUse our list of steps to claim your 보령 출장안마 bonus. We also show you 순천 출장샵 where to 충청남도 출장샵 register, which casinos will have their games available 경산 출장마사지 to 대구광역 출장샵 you.