Selasa, 14 Februari 2012

SEJARAH PEREKONOMIAN


DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA
(Cikal Bakal Budaya Korupsi)

Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikan, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik itu politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dengan kata lain mereka menggunakan uang negara atau  perusahaan untuk kepentingan pribadi. Berdasarkan sudut pandang hukum tindakan korupsi merupakan tindakan yang melawan hukum yang dapat dijerat dengan hukuman yang berat. Tindakan korupsi ini masuk ke dalam penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, yang dilakukan untuk memperkaya diri, orang lain atau korporasi, yang sudah jelas bahwa hal tersebut sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ada beberapa macam tindakan korupsi yang dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, memberi hadiah atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan atau menerima gratifikasi. Budaya korupsi ini sudah merajalela dan sulit sekali untuk diberantas, karena bukan hanya pejabat yang banyak terlibat dalam kasus korupsi. Masyarakat sekalipun sudah menganggap bahwa hal itu sudah merupakan hal yang biasa. Karena perlu kita garis bawahi bahwa korupsi itu tak hanya dalam hal keuangan.
Sebagian orang manyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Menurut Baharuddin Lopa (Baharudin Lopa dan Moh.Yamin,1987:6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang termasuk ke dalam pengertian korupsi pula ialah suap terhadap para pejabat atau pegawai negeri.
Selain tokoh diatas masih banyak yang mengungkapkan pengertian korupsi ini diantaranya, menurut Dr. Kartini Kartono korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna menegduk keuntungan pribadi dan tentu saja merugikan kepentingan umum. Menurut Huntington (1968) korupsi merupakan perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit membagi tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.  Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum di bawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bododh terhadap akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Isitilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi, definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seoarang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi. Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah daripada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Demikian halnya di Indonesia dengan rumusan yang demikian rigid dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Sehingga banyak pelaku koruypsi di Indonesia yang lolos dari jeratan hukum. Unutk menghindari bias pengertian korupai ini perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokkrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi.
Pengertian korupsi ini juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungkan rakyat.
Cikal Bakal Munculnya Budaya Korupsi serta Perkembangannya
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, gejala korupsi yang berkembang bukanlah gejala penyakit sosial yang muncul di era modern saat ini. Namun, melalui sebuah proses dari setiap masa yang dilewati. Periode yang dilewati dalam sebuah tradisi atau gejala sosial akan memuncak dan muncul minimal setelah tiga generasi dengan perhitungan satu generasi selama 25 tahun. Korupsi yang saat ini mendera masyarakat Indonesia telah berakar kuat karena adanya proses yang cukup panjang. Tidak hanya di Indonesia, tetapi se4mua bangsa juga berakar dari sejarah ke masa silam. Korupsi adalah suatu gejala sosial dalam sejarah dan masa kini.           
Menurut penelitian budaya korupsi khususnya yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman dahulu ketika masih dalam zaman kerajaan. Hal ini diungkapkan oleh Sutherland, ia melakukan sebuah penelitian. Ia menyimpulkan bahwa secara historis praktek korupsi kerap terjadi dalam pemerintahan di Indonesia, khususnya sejak masa pemerintahan kerajaan mataram islam. Sebelum datangnya bangsa Barat masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang feodal yang korup meskipun mempunyai budaya tinggi dan lembaga semi birokrasi. Datangnya bangsa Barat, menjadi faktor pendorong yang memperkuat budaya korup itu. Artinya menurut Sutherland telah terjadi kolusi buadaya yang memperkuat model korupsi yang sudah ada sebelumnya.
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan di kalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi merupakan sesuatu yang wajar. Korupsi berawal dari pembiasaan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang ?. tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-usul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakikatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di nusantara masih mengenal sistem pemerintahan feodal ( Oligharki Absolut), atau sederhananya dapat dikatakan, pemerintah di saat daerah-daerah yang ada di nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan yang notabene memiliki kekuasaan penuh. Korupsi yang ada saat ini berasal dari masa lalu yang bertumpu pada kekuasaan “ birokrasi patrimonial” dan bertumpu pada sistem feodal.
Mentalitas yang belum hilang pada jati diri bangsa inilah salah satu sebab sulitnya membangun masyarakat yang bersih dari korupsi serta membangun masyarakat modern. Feodal juga tidak bisa kita salahkan sepenuhnya karena Jepang yang dulunya mungkin sampai saat ini merupakan negara feodal yang mampu bangkit dan maju. Mereka mampu mengendalikan zaman feodalnya, bukan tertinggal zaman dengan alasan adanya mental feodal.
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3 fase sejarah, yakni : zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang.
Zaman Kerajaan
Sistem kerajaan di nusantara tidak dapat hilang begitu saja. Indonesia atau dulunya Nusantara menggunakan sistem kerajaan lebih dari 3 abad, sedangkan sistem pemerintahan demokratis di Indonesia masa hidupnya belum genap satu abad terhitung sejak Indonesia merdeka.
Kerajaan yang silih berganti juga sepanjang sejarah juga menjadi pandangan tersendiri sebagai akar sejarah. Pergantian tersebut banyak terjadi karena adanya perpecahan sejarah di Nusantara. Hal itu memperlihatkan satu hal bahwa bangsa kita pada saat itu masih rapuh. Salah satu sebab perpecahan itu adalah adanya oknum-oknum pejabat daerah yang tergiur untuk memperkaya diri sehingga memisahkan diri dari kekuasaan pusat.
Pada fase kerajaan budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten, dll, mengajarkan bahwa konflik kekuasaan yang didertai dengan motif untuk memperkaya diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita di kemudian hari. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan abdi dalem. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja.Kerasnya feodalisme menyebabkan seorang bupati atau penguasa pada wilayah tertentu harus sering menyerahkan upeti kepada raja yang memerintah bahkan terlebih lagi agar bupati itu ingin tetap menjadi bupati. Pemberian upeti atau hadiah mungkin pada zaman itu dianggap sebagai hal yang wajar dalam sistem pemerintahan yang feodal. Tapi justru hal inilah yang membentuk karakter dari para pemimpin pada zaman itu dan masih mengakar sampai sekarang.
Pengertian upeti itu sendiri dalam persfektif sejarah, sebenarnya merupakan pajak yang tidak mengikat namun posisinya merupakan kewajiban. Upeti dapat dikatakan sebagai suatu tiket untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Suhartono menyatakan praktek upeti seperti ini tergolong ke dalam kategori penyuapan yang tidak lain merupakan suatu bentuk atau atau salah satu jenis korupsi. Model serta praktek korupsi seperti ini sudah sudah marak dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa budaya feodal di zaman dulu telah terwarisi hingga sekarang. Tentu saja budaya korupsi yang ada di Indonesia sekarang sangat sulit untuk diberantas. 
Secara akar budaya, korupsi akan selalu muncul jika dalam suatu masyarakat tidak ada pemisahan antara milik pribadi dan milik umu. Seorang raja tradisional yang menggunakan penghasilan negara, tidaklah disebut korupsi. Begitu juga dengan pejabat daerah yang menggunakan penghasilan dari jabatannya untuk kepentingan pribadi yang harus agung, tidaklah bisa disebut korup.
Dari kejadian sejarah terdapat hal yang menarik untuk dicatat adalah peninggalan Mataram yang menyuburkan korupsi saat ini, meskipun pada saat itu belum didefinisikan sebagai tindakan korupsi, yaitu sistem penggajian kerajaan Mataram. Soemarsid Martono (1963) mencatat adanya sistem salary-financing dalam bentuk hak milik berupa tanah garapan yang diberikan kepada pejabat sesuai dengan kedudukannya. Dari tanah garapan itu, sang pejabat diharapkan bisa mengongkosi semua pengeluaran yang bertalian dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Sistem ini secara tradisional melahirkan penyimpangan dalam pengelolaan negara karena tidak ada pemisahan antara uang pemerintahan dan milik pribadi. Telah terjawab sudah, salah satu penyebab korupsi saat ini adalah sistem kerajaan yang saat itu tidak masuk dalam kategori korupsi, tetapi kini adalah korupsi.Selain itu Mataram tempat susuhan menyita milik pejabat kerajaan yang dicopot dari jabatannya. Namun, para pejabat-pejabat kerajaan yang diperkirakan terlalu memperkaya diri sendiri karena denda-denda istimewa. Denda ini seharusnya masuk ke dalam kas-kas raja.
Sistem nilai tradisional yang bersumber pada masa silam tersebut masih saja dipelihara dan dijadikan tameng pembenaran budaya atas pratek-praktek penyimpangan kekuasaan oleh aparat pemerintah dalam konteks dan perubahan kondisi yang ada di lapangan. Lalu, yang perlu kita tambahkan lagi adalah nilai solidaritas kita yang tinggi terutama pada sanak saudara dahulu, baru kemudian teman terdekat. Budaya inilah yang pada saat ini turut digunakan dalam pembagian kekuasaan padahal tindakan tersebut termasuk tindakan korupsi yang lebih dikenal dengan istilah nepotisme. Dulu memang sudah menjadi hal biasa ketika kita mengangkat pejabat daerah dari kalangan keluarga kita karena dulu masih bersifat birokrasi patrimonial dan yang terjadi kini hanya metode serta sistem yang berbeda. Turut diakui bahwa memang perjalanan sejarah dengan berbagai macam perubahannya telah menjadi bagian dari terbentuknya budaya korupsi di negara kita dan tentunya mungkin di negara lain juga. Korupsi yang pasti ada di setiap waktu dan setiap tempat karena bentuk korupsi selalu bermodifikasi bentuknya sesuai dengan tempat dan waktunya. Namun, yang perlu dicatat kita tidak sepenuhnya menyalahkan sistem yang ada pada kerajaan. Korupsi yang ada di Indonesia juga akibat dari pemerintahan kolonial Belanda.
Zaman Penjajahan
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalakan daerah administratif tertentu, misalnya demang, tumenggung, dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah tetorial tertentu. Mereka diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, yang digunakan oleh Belanda untuk memperkaya diri dengan menhisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
VOC sebagai satu-satunya perusahaan dagang multinasional dan terbesar di zamannya dengan wilayah kerja yang begitu luas mulai dari Amerika Serikat, Afrika bagian Selatan, ssebagian Wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara khususnya Indonesia terpaksa bangkrut karena korupsi yang begitu besar di setiap hirarki struktural di dalamnya. Dan dengan bubarnya bubarnya pemerintahan Hindia Belanda langsung diambil alih oleh kerajaan Belanda. Khusus di wilayah Indonesia dengan banyak pulau dan kerajaan-kerajaan kecil di dalamnya, pemerintah Hindia Belanda menerapkan Teori asosiasi.yaitu pemerintah Hindia Belanda mengangkat para bangsawan pribumi, bupati, atau adipati dan kaum priayi untuk menjadi regen untuk memerintah di wilayah kekuasaan masing-masing. Para regen bertugas menjalankan pemerintahan di suatu wilayah kabupaten seperti menarik pajak dan penyaluran hasil-hasil perkebunan. Penghasilan seorang regen dirinci menjadi 4 bagian. Pertama, gaji tetap bulanannya. Kedua, jumlah khusus sebagai kompensasi atas hak pemindahan ke Pemerintaha Belanda. Ketiga, bonus dari bagian kuantitas hasil serahan produk-produk kabupatennya seperti kopi, gula, nila, kayu manis, dll. Dan terakhir, pemakaian tenaga serta kekayaan para bawahannya.
Para regen untuk mempertahankan kebangsawannya serta menimbulkan kesan bangsawan pada penduduknya harus senantiasa hidup mewah bahkan pengeluarannya harus melebihi dari pendapatannya. Oleh karena itu pemerintaha Hindia Belanda sering memberikan hadiah bagi para regen yang mengirimkan penduduknya untuk kerja paksa tanpa gaji. Sebenarnya keturunan regen tidak sendirinya menjadi regen, tetapi kembali untuk menimbulkan kesan bangsawan di hadapan penduduknya seorang regen harus membayar mahal dan, menyetor upetikepada pemerintah Hindia Belanda agar kelak digantikan oleh anaknya. Jelas pada masa itu rakyat biasa tidak sadar bahwa pemimpinnya pada dasarnya pemimpin bayaran. Dan tidak diragukan lagi pemberantasan penyalahgunaan kekuasaan ini pasti sangat sulit bahkan sampai di zaman demokrasi sekarang ini.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti sriwijaya, majapahit dan mataram karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Selain itu, terdapat pula campur tangan dari pemrintahan Belanda dengan cara memecah belah. Pada tahun 1755 dengan perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua kekuasaan,begitu pula dengan Kasultanan Yogyakarta.
Benar bahwa penyebab pecah lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing mampu menjajah Indonesia khususnya Belanda. Hal tersebut lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan ”character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi. Terlebih lagi sebagian besar masyarakat di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah di adu domba.
Belanda memahami betul akar “ budaya korup “ yang tumbuh subur pada banga Indonesia, maka melalui politik “ Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukan nusantara. Namun, bagaimana pun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta berintegrasi seperti sekarang. Gejala korupsi dan penyimpangan kekuasaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja,  sedangkan rakyat kecil nyaris belum mengenal atau belum memahaminya.
Perilaku korup bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar mengkorup harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika Menguasai Nusantara (1800-1942) minus Zaman Inggris (1811-1816), akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Culture Stelsel yang berarti sistem pembudayaan. Isi peraturan dalam culture stelsel sebenarnya sangat manusiawi dan sangat beradab, namun pelaksanaannya sangat tidak manusiawi, mirip dengan Dwang Stelsel yang artinya sistem pemaksaan.
Jepang yang datang menjajah Indonesia setelah Belanda ternyata tidak membawa perubahan yang berarti bagi pemberantasan praktek korupsi birokrasi. Kehidupan rakyat Indonesia bahkan secara kualitatif lebih sengsara. Dalam catatan ahli sejarah, periode pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan di ambil bijinya sebagai alat penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu (Thamrin,2000).
Korupsi pada masa pendudukan Jepang diperparah oleh adanya kekacauan ekonomi rakyat, dan terlalu berorientasinya Jepang pada ambisi untuk memenangi perang di kawasan Asia, sehingga pelayanan administrasi pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan kesejateraan rakyat diabaikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Thamrin (2000), ahli sejarah banyak yang mencatat bahwa korupsi pada saat pendudukan Jepang bahkan lebih parah dibandingkan masa VOC maupun masa pemerintahan Belanda.
Zaman Modern
Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja, salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal tersebut tercermin dari perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde Lama Soekarno, yaang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga sekarang. Anderson (1972) pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah ada sebelum Belanda menjajah Indonesia. King menambahkan bahwa korupsi malah merajalela saat pemerintahan Belanda. Herbert Feith (1962) menuturkan bahwa lepas dari belenggu penjajah, tepatnya setelah proklamasi kemerdekaan 1945, untuk sementara waktu korupsi menurun cukup signifikan.
Orde Lama bukan berarti era dimana korupsi tidak mewabah. Budaya korupsi yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti yang telah diuraikan sebelumnya, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di era orde lama maupun di era orde baru. Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya dalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ada beberapa catatan untuk menandai awal mula munculnya korupsi di kalangan pejabat dalam negeri pada masa ini. Pertama, ketika pemerintah orde lama membuat kebijakan untuk mengambil alih perusahaan dan aset-aset asing, yaang dikenal dengan “ nesionalisasi” melalui sebuah Undang-Undang yang dikeluarkan pada tahun 1958. Kebijakan yang sejatinya sarat misi untuk memulihkan perekonomian nasional itu disalahgunakan oleh kalangan militer. Yaitu dengan menguasai perusahaan hasil nasionalisasi, dengan manajemen yang tidak terkontrol secara baik dan transparan oleh kalangan masyarakat sipil. Kedua, ketika orde lama mngeluarkan kebijakan politik benteng, yang sejatinya juga sarat misi untuk membantu para pengusaha dalam negeri dapat dibentengi dan diproteksi negara. Tetapi kebijakan ini dalam implementasinya diselewengkan dan hanya menghasilkan konkalikon serta sarat KKN. Kondisi tersebut di perparah oleh sistem politik yang tidak demokratis, sertaa saat itu pemerintah sedang menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Perbedaan pendapat, oposisi, dan kritik oleh kalangan sipil dinilai sebagai kontraduktif, bahkan tidak jarang dianggap sebagai kontra revolusi. Inilah yang menjadikan korupsi tidak dapat dikontrol dengan baik, apalagi diberantas. Di masa pemerintahannya Soekarno pernah melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan asing melalui suatu Undang-undang. Tetapi sebelum UU tersebut diberlakukan pihak militer telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan-perusahaan asing itu.
Pada era kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Paran dan Operasi Budhi namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas Paran adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden. Usaha Paran akhirnya mengalami deadlocke karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui keputusan presiden no 275 tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini kemudian dikenal dengan istilah “ Operasi Budhi”. Sasaranya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan pratek korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengal;ami hambatan. Misaalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menoolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Dalam kurun waktu tiga bulan sejak  Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yanng cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor mengatakan bahwa prestise persiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain. Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) dimana Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi. Bisa dikatakan pada masa orde lama ini tidak dapat memberantas tidak korupsi yang ada, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor : pertama, UU untuk merasionalisasi perusahaan asing belum diberlakukan. Kedua, pemerintah menerapkan politik benteng. Ketiga, kegagalan pemerintahan Demokrasi Terpimpin untuk mengatasi disintregrasi administrasi kenegaraan.
Jadi masalah korupsi dan pemberantasannya di masa pemerintahan Orde Lama bukan saja korupsi dapat dikurangi, tetapi juga ti]dak diberantas. Di sisi, kebijakan untuk memproteksi pengusaha tidak dipersiapkan matang, sehingga yang muncul adalah perusahaan-perusahaan nasional yang semu, yang pada gilirannya lisensi tersebut akhirnya disewakan secara tidak fair ( korup ).
Selanjutnya pengalaman orde baru dalampemberantasan korupsi juga tidak jauh berbeda dari Orde Lama. Bahkan pada masa Orde Baru korupsi malah semakin merajalela dan masuk ke retorika politik belaka. Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 agustus 1967, Presidan Soeharto menyalahkan rezim orde lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tidak lam kemudian dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai jaksa agung. Tetapi TPK tidak mempunyai keberanian untuk membongkar korupsi yang sudah mewabah, hingga akhirnya terjadi demokrasi mahasiswa serta pelajar secara besar-besaran di tahun 1970, yang menuntut dan mendesak Soeharto memenuhi janjinya untuk lebih serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina, Bulog, dan Departemen Kehutanan, yang kemudian muncul inisiatif dibentuknya Lembaga Komite Empat yang beranggotakan Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo A Tjokroaminoto. Tugas lembaga ini adalah membersikan perusahaan yang terlibat korupsi. Namun lembaga ini pun tidak mampu menjalankan tugasnya. Sehingga dibentuklah OPSTIB yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo. Pada Era Reformasi tindak pidana korupsi semakin menjamur di kalangan para penguasa. Bahkan pada Era ini virus korupsi sudah mulai merasuki hampir seluruh elemen negara.
Mengapa Budaya Korupsi Sulit untuk Dihilangkan?
Korupsi yang terjadi di Indonesia khususnya memang sangat sulit untuk diberantas. Bagaimana telah kita ketahui sebelumnya bahwa budaya korupsi merupakan warisan masa lalu. Hal seperti korupsi ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan, dimana para penguasa yang menuntut adanya pembayaran wajib seperti upeti. Selain itu tuntutan perekonomian bangsa Indonesia sendiri yang tidak stabil seringkali menyebabkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang eharusnya tidak ia lakukan. Sebagai contoh saja, seorang kepala keluarga, ia tak menghidupi anak istrinya namun ayah ibunya juga kerabat yang lain. Yang tidak akan cukup hanya dengan gaji pokok. Bagaimana pun harus ada usaha untuk mencukupi semua itu, meskipun harus ditemph dengan cara-cara yang tidak halal seperti menerima suap dan korupsi. Hal seperti ini pun bisa melahirkan budaya korupsi semakin menjamur dan semakin sulit untuk diberantas.
Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan
Korupsi merupakan suatu masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah masalah moral semata.  Belakangan ini begitu banyak terdengar kampanye sederhana yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, jika morupsi ingin dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita,. Upaya tersebut bukan salah namun keliru jika kita memandang persoalan ini secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah upaya kampanye ini hanya dijadikan  sebagai upaya penngalihan isu dari pejabat yang terlibat korupsi. Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas. Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah sentralisme kekuasaan, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru, dimana pemerintah dengan begitu mudahmenarik pajak dan uang rakyat atas nama untuk pembangunan. Siapa yang menhalangi di cap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara. Kekuasaan negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yanng kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umu, juga tidak lepas dariu bangunan kekuasaan yang dipraktekan oleh Orde Baru. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni oleh lingkungan sosial tang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajarlah jika kemudian sebagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah, juga ikut bertindak sama dengan perilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintah inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Ironisnya masyrakat terkesan diam dan tidak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan pragmatis. Misalnya, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat atau bahkan anggota DPR meski harus menghabiskan biaya yang tidak sedikit dalam pemikirannya dengan satu pemikiran bahwa dana yang dikeluarkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil yang akan didapat olehnya nanti. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.


1 komentar:

  1. How to register at Borgata Hotel Casino & Spa in New Jersey
    Use our list of steps to claim your 보령 출장안마 bonus. We also show you 순천 출장샵 where to 충청남도 출장샵 register, which casinos will have their games available 경산 출장마사지 to 대구광역 출장샵 you.

    BalasHapus